Sekolah Tidak Mendidik Kita Untuk Menjadi Kaya

sekolah tidak mendidik kita menjadi kaya

Sebagian waktu belajar seseorang ketika kecil dicurahkan di sekolah. Apalagi sekarang ini banyak sekali sekolah favorit yang menawarkan konsep pendidikan nomor wahid dengan fasilitas dan guru yang sangat terjaga kualitasnya.

Banyak orang tua yang merasa cukup mendidik anaknya di sekolah, apalagi sekolah favorit. Bahkan di zaman seperti sekarang tren sekolah hingga pascasarjana sudah menjadi hal yang biasa. Begitu banyak orang yang mengambil pendidikan yang tinggi tanpa mengetahui apakah sekolah itu bermanfaat atau tidak.


1. Permasalahan Utama

Ironisnya, semakin tinggi sekolah bukannya semakin siap manghadapi tantangan zaman. Semakin tinggi sekolah, bukan semakin tinggi keterampilan yang didapat. Tetapi, semakin tinggi sekolah, semakin tinggi gengsinya. Semakin tinggi tingkat pendidikan justru akan semakin sulit mencari pekerjaan lantaran semakin banyak pekerjaan yang dianggap tidak bergengsi.

Di sekolah, kita dididik dan diajari pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Geografi, Sejarah, Kesenian , dan macam-macam pelajaran. Bahkan, di pesantren jumlah mata pelajaran bisa mencapai 25 macam jenis. Semua pelajaran tersebut berpangkal pada sebuah kecerdasan yang disebut sebagai kecerdasan akademik yaitu kecerdasan yang bertumpu pada kemampuan membaca dan menulis.

2. Sistem Yang Buruk

Siswa-siswi yang memiliki kemampuan akademik tinggi dikatakan sebagai siwa-siswi yang sukses, sedangkan yang kurang beruntung karena tidak memiliki kemampuan akademik yang tinggi dikatakan sebagai siswa atau siswi yang tidak sukses atau bahkan gagal.

Sistem inilah yang sangat disayangkan. Kita menjumpai bahwa bila dalam satu kelas terdapat sekitar 40 sampai 50 siswa, yang memiliki kemampuan kecerdasan akademik tinggi hanya sekitar 5 orang saja.

Mereka inilah yang biasanya berebut untuk mengukir prestasi sebagai juara kelas. Sisanya, adalah anak-anak yang memang tidak memiliki kemampuan akademik tinggi sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memperebutkan posisi ranking kelas.

Sekitar lima anak berkemampuan akademik tinggi diakui oleh guru, teman sekelas, orang tua dan lingkungan masyarakat sebagai anak berprestasi dan biasanya prestasi ini selalu dapat dicapainya dari tahun ke tahun. Akibatnya, anak-anak ini akan memiliki mental juara dan membawa mental-mental pemenang itu ke dalam kehidupan di luar sekolah. Dengan dukungan pendidikan keluarga, mental juara akan memotivasi kelima anak ini untuk menjadi pribadi yang sukses pada setiap bidang kehidupan.
Bila hanya sekitar lima siswa-siswi saja yang sukses, bagaimana nasib anak-anak yang lain yang tidak bisa mencapai prestasi di kelas? Inilah yang sangat disayangkan. Mereka akan berada di lingkungan pendidikan selama bertahun-tahun masa sekolahnya dengan diposisikan sebagai orang tidak sukses.

Ketidaksuksesan ini bukan karena mereka memang tidak mampu untuk sukses dan berprestasi, melainkan semata-mata karena mereka tidak dapat memenuhi ukuran sukses yang dipakaai, yaitu ukuran sukses dan prestasi akademik. Padahal, dalam lingkungan dinia nyata, sedikit sekali orang yang menjadi sukses hanya dengan kemampuan akademik semata.

3. Berhasil Tidak Hanya Akademik

Banyak orang yang sukses dan berprestasi karena kemampuan dan kecerdasan emosional, karena kecerdasan fisik, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosialisasi, kecerdasan finansial dan sebagainya. Cobalah kita tengok para jendral, politisi sukses, olahragawan, pengusaha sukses, manajer, dan sebagainya yang telah sukses. Apakah mereka ini adalah orang-orang sengan IQ tinggi dan selalu rangking di bangku sekolah? Kita pasti menjumpai bahwa banyak di antara mereka dan bahkan sebagian besar dari mereka justru siswa yang tidak sukses dan tidak berprestasi di sekolahnya.

Lihat saja Thomas Alfa Edison, penemu terkenal di dunia yang diusir dari sekolahnya karena terlalu bodoh, Bill Gates, orang terkaya di dunia, adalah seorang dropout uneversitas. Banyak orang mengatakan :

"Orang Kaya Sukses Hidup Di Dunia, Tapi Belum Tentu Di Akhirat"

Memang bantahan ini betul, tetapi bukankah kesuksesan hidup di dunia bukanlah halangan bagi orang untuk sukses di akhirat? Kita sebagai manusia harus berusaha mengejar keduanya, sukses di dunia maupun di akhirat.

Bagaimana Sekolah Seharusnya?


Agama manapun yang baik mewajibkan seseorang untuk menuntut ilmu. Bila telah menuntut ilmu, kewajiban selanjutnya adalah mengamalkannya dalam tindakan nyata dan mengajarkannya kepada orang lain.

Coba kita mengingat kembali pelajaran-pelajaran di sekolah. Dlam pelajaran matematika misalnya, dita diajari hitungan rugi laba. Dengan konsep etos menuntut ilmu, mestinya ilmu tentang rugi laba tidak hanya dijejalkan di otak, melainkan dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Dengan ilmu sederhana tentang laba ini seseorang siswa kelas SD misalnya, dapat berpraktek menjadi pedagang dan mengalami proses pendidikan yang melibatkan uang secara nyata. Uang yang memungkinkan emosi, perasaan, naluri dan fisiknya ikut merasakan proses pendidikan, bukan hanya otaknya.

Bila hal ini dikerjakan, mungkin tidak akan ada lagi cerita bahwa selulus sekolah dengan ijazah sarjana banyak orang yang kebingungan mengirimkan puluhan lamaran pekerjaan selama berbulan-bulan dan tidak ada satupun perusahaan yang menerimanya.
Saya tidak sedang mengajak Anda untuk beramai-ramai menarik diri dari sekolah!! Saya juga tidak sedang mengajak Anda untuk menyalahkan sekolah. Sebaliknya, saya sedang mengajak kita semua untuk berintrospeksi dan menyalahkan diri sendiri. Kita harus tetap optimis pada sekolah yang mendidik kita dan kemudian melengkapi bagian pendidikan yang belum bisa dikerjakan sekolah.

Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan pendidikan formal kita, maaf sebelumnya bila ada yang tidak berkenan di hati

Artikel yang berkaitan



0 comments:

Post a Comment

Post a Comment